Mungkin tahun ini memang menjadi tahunnya para perempuan. Kejutan demi kejutan terus menerus menghentak ruang publik kita. Tiga nama saya ambil karena efek kejutnya sungguh luar biasa. Mereka adalah Julia Perez atau yang tersohor dengan sebutan Jupe, Miyabi dan Sri Mulyani.
Mungkin di benak anda muncul pertanyaan, mengapa Miyabi diikutsertakan. Bukankah Miyabi bukan orang Indonesia? Benar pertanyaan anda. Kemudian mungkin anda menduga, tulisan ini kayaknya mau membandingkan ketiga perempuan yang memang jelas berbeda. Anggaplah demikian, meskipun tidak ada gunanya menunjukkan sesuatu yang sudah jelas diketahui berbeda, tetapi saya tetap ingin menuliskan buat anda.
Miyabi memang bukan orang Indonesia. Tetapi kesohorannya begitu menghebohkan orang Indonesia. Lihat saja aksi-aksi FPI yang langsung bereaksi keras atas film menculik Miyabi yang akan segera tayang perdana besok tanggal 6 Mei 2010. Tidak ketinggalan MUI turut menyumbangkan pemikiran bahwa film Miyabi harus mencontoh Ipin-Upin. Untung mungkin memihak produser film Miyabi karena beritanya tenggelam dengan pemberitaan Sri Mulyani yang akan segera hijrah ke AS.
Kita lebih tersentak lagi mendengar berita hijrahnya Sri Mulyani di tengah proses pengusutan Century yang semakin kusut. Sebagian orang bersyukur bahwa akhirnya the right man on the right place itu benar adanya. Sebagian lagi mengutuki kejadian yang tidak memihaknya, tidak mendatangkan keuntungan bagi dirinya maupun golongannya. Mungkin orang-orang yang mengusung Jupe termasuk pada kelompok ini.
Orang-orang pengusung Jupe secara tidak langsung dihadapkan pada situasi tenggelamnya popularitas untuk pencitraan. Repotnya lagi pencitraan yang mana mesti dipilih, ala Miyabi atau ala Sri Mulyani. Paling pusing tentu orang partai politik. Mencalonkan Jupe jadi setengah hati. Hati nurani membelenggu untuk berpikir ulang, tetapi keserakahan untuk mendapatkan keuntungan pribadi begitu menggiurkan. Bukan meremehkan Jupe, tetapi sadarkah Jupe kalau ia pun hanya artis yang dicoba untuk dieksploitasi ala Miyabi. Bedanya jelas, Miyabi main film, sementara Jupe main sandiwara politik.
Berbicara tentang Sri Mulayani lagi, sekali lagi Sri Mulyani menunjukkan kelasnya untuk tidak mau dijadikan boneka mainan orang-orang politik. Justeru sekarang semua orang menjadi kebingungan, manuver apa lagi yang sedang dijalankan. Pikiran yang terbiasa berkonspirasi senantiasa mencari-cari ide cerita tentang adanya konspirasi. Jangan-jangan isu Sri Mulyani hanya konspirasi produser film Miyabi agar masyarakat tidak sempat mengkritisi. Atau jangan-jangan film Miyabi hasil scenario tokoh politik sehingga ditayangkan pada saat situasi politik memanas. Whatever lah. Bangsa ini memang masih terlalu hijau sehingga mudah dipermainkan segelintir politisi.
Kita lebih tersentak lagi mendengar beritaBelum lagi kalau melihat secara wadagnya. Memang ketiga perempuan itu sama indahnya. Entah isi otaknya. Yang jelas Sri Mulyani menunjukkan bukti bahwa tanpa partai politik pun dunia mengakuinya. Mayoritas umum menilai positif. Demikian juga kiprah Miyabi, dunia mengakui kehebatan aktingnya terlepas dari film yang dibintanginya. Artinya, aktingnya bagus, filmnya no comment. Tentang jupe, kita masih harus bertanya dulu pada para pengusungnya, apa yang dia punya. Setidaknya, biarlah sesekali Jupe menulis pemikirannya di Kompasiana agar kita mudah mengklasifikasikan apakah dia lebih mirip Sri Mulyani atau lebih mirip Miyabi.
Apapun yang terjadi akhir-akhir ini, bolehlah semua merupakan ujian bagi politisi kita. Miyabi pun punya ekses politik karena film aroma seksnya mampu membuai jutaan penggemar di Indonesia sehingga tidak sempat berpikir tentang apa yang lebih baik untuk negeri ini. Politisi ulung tahu betul kekuatan film tersebut. Indikasinya, banyak artis yang dikenal masyarakat sebagai symbol seks dipilih sebagai jago-jago dalam pilkada. Seolah-olah pesannya, pilihlah figure yang menyenangkan anda meski sekejap. Jika pun tidak kesampaian mimpi sama Miyabi, bolehlah anda sementara mimpi sama calon-calon bupati yang berani buka paha tinggi-tinggi. Jangan pernah berkiblat pada Sri Mulyani, karena itu contoh ideal Srikandi yang berbahaya bagi golongan sendiri. Itu kira-kira garis kebijakan para politisi.
Tapi daripada pusing, memang lebih baik kita tonton menculik Miyabi. Tapi harus diingat, menonton Miyabi bukan karena kita tidak tahu jika kita dibodohi, tetapi karena kita tidak punya harapan lagi akan nasib negeri ini. Tersenyumlah….