Intelektual, tak mementingkan hal-hal duniawi dan mampu melakukan segalanya. Itulah tanggapan pertama masyarakat orang berbakat tinggi. Tapi gambaran ini tidak sesuai dengan kenyataan.
Ciri-ciri
Tahun-tahun belakangan makin banyak diketahui tentang ciri-ciri spesifik orang berbakat tinggi. Misalnya punya rasa keadilan tinggi dan perfeksionis.
Pengamat tumbuh kembang anak Julia Maria van Tiel sering mengadakan pertemuan di rumahnya di Heiloo, kota terletak 30 km dari Amsterdam.
Pertemuan itu khusus digelar untuk orang tua anak berbakat tinggi dan bertujuan untuk berbagi pengalaman dan melepaskan unek-unek. Misalnya si anak punya keinginan kuat, kadang-kadang tak bisa dipatahkan.
Salah satu hadirin pertemuan adalah Agnes, orang tua Lala, gadis berbakat tinggi berusia sembilan tahun.
“Tanpa sengaja, pas ada pemeriksaan IQ buat anak masuk TK, ternyata IQ-nya tinggi sekali. Waktu itu 153.”
Cita-cita Lala antara lain adalah menjadi penulis. Ia suka sekali menulis cerita-cerita pendek.
Beberapa hal membuat Lala berbeda dari anak-anak lain seusia dia. Di antaranya konsentrasi tinggi, motorik terlambat, bermasalah di sosial emosional dan introvert, jadi lebih suka menyendiri.
Putus asa
Ismail, ayah Lala pernah merasa putus asa karena putrinya seperti tidak mau mendengarkan apa kata orang tua. Ia dan isteri kemudian memutuskan membawa anak mereka ke dokter untuk memeriksa telinga. Ternyata tidak ada masalah dengan telinga Lala.
“Ternyata, baru belakangan kita tahu, cara kita komunikasi dengan Lala, itu tidak betul. Jadi seperti kita nggak memahami siapa Lala. Kita anggap dia seperti anak normal lain, jadi kita perilakukan seperti anak normal. Ternyata sebetulnya nggak bisa begitu.”
Seorang anak, jika berbuat kesalahan, kemudian dikasih tahu orang tuanya, seharusnya langsung bisa mengerti. Tapi dalam kasus Lala, lain halnya, kata Ismail.
“Ini nggak mau ngerti-ngerti. Akhirnya kita agak marah. Kita nggak tahu kalau ternyata memang betul-betul ada masalah dia dengan seperti itu. Dan itu berlangsung agak lama, sampai akhirnya kita nggak tahu lagi, ini kenapa sampai anak seperti ini."
Kemudian setelah beberapa tahun, Ismail membawa Lala ke psikolog untuk diperiksa.
“Ada masalah yang beda sekali antara intelijensi dia dan emosionalnya. Dia itu kayak perfeksionis. Dia bisa melakukan segala macam. Dia tahu apa dia lakukan. Tapi kadang kita sebagai orang tua nggak ngerti. Nggak nyambung. Dia merasa orang tua nggak ngerti dia.”
Psikolog menganjurkan Ismail serta isteri untuk menerima saja keadaan Lala seperti itu.
“Dia bisa bagus kalau lingkungan mendukung. Caranya bagaimana, kita tanya. Cukup berikan cinta, sayang. Coba banyak dipeluk, banyak dipuji, dimotivasi. Jadi harus lebih daripada kepada anak normal.”
Perfeksionis
Anjuran psikolog diterapkan dan komunikasi Agnes dan Ismail dengan anak tidak bermasalah lagi. Hanya di sekolah Lala masih ingin selalu sempurna atau perfeksionis dan tidak mau berbuat kesalahan. Akhirnya kalau melakukan tugasnya, selalu lambat, kata Ismail.
“Padahal kalau di sekolah di sini, kalau anak pinter, dia bisa menyelesaikan dengan cepat, dia mendapatkan tugas tambahan. Dia nggak pernah mendapatkan tugas tambahan, karena nggak ingin itu. Dia merasa tugasku ini, ya udah aku ingin lebih bagus.”
Menurut Rudi, hadirin lain pertemuan di Heiloo, ciri-ciri paling menonjol pada anaknya adalah keras kepala, keinginan besar, tidak mudah diatur, sangat mudah marah kalau keinginannya tidak tercapai.
Tapi, kata Rudi, di mana banyak anak berbakat tinggi bersifat introvert, anak dia malah ekstrovert.
“Ada hal positifnya juga. Dia suka ramah, menyapa orang, bermain dengan orang. Tapi kalau dia marah, nggak ampun-ampun. Dia bisa angkat bangku. Dia bisa lempar itu bangku.”
Dalam keadaan marah sepert itu, Puri, isteri Rudi, berusaha meredam kemarahan anaknya. Tapi, akunya, sering tidak berhasil.
“Kami mencoba mencari solusinya dengan banyak membaca literatur di internet, buku, konsultasi dengan Bu Julia, diskusi. Kadang-kadang ada sedikit yang terbantu, karena saya lihat karakter mereka beda-beda. Kadang-kadang kita juga mengalami jalan buntu, nggak tahu cara menghadapinya.”
Kendati demikian, rasa empati juga sangat tinggi, ujar Rudi.
“Misalnya dulu waktu di Indonesia, dia melihat ada seorang penjual manisan. Pakaiannya buruk. Kita nggak bilang ini orang miskin, susah. Tapi dia bisa baca ekspresi. Dia tahu ini orang susah, capek, dikasih minum, ditambah lagi minumnya dengan muka penuh perhatian.”
Memang tidak mudah bagi orang tua menghadapi anak berbakat tinggi. Berikut ini sejumlah tips:
Selalu kerja samalah dengan guru dan pihak profesi supaya anda bisa tahu dengan pasti pengasuhan yang tepat bagi anak anda.
Tetap memperhatikan tumbuh kembang anak.
Banyak membaca.
Banyak berdiskusi.
Berkumpullah dengan sesama yang punya masalah sama, karena di situlah banyak tips yang bisa diperoleh.