Golkar merupakan salah satu partai yang ikut dalam pileg dan pilpres, Golkar mulai dari pemilu zaman orde baru sampai orde reformasi sekarang adalah pemenang pemilu 2004, Golkar kalah pada saat pilpres oleh Pasangan partai Demokrat Yaitu pasangan SBY-JK, walaupun pada saat itu Golkar masih menjadi pemenang pemilu legislative. Pada saat rapat pemilihan Ketua Umum Golkar yang baru dan ternyata JK menjadi ketua umum setelah menyingkirkan Akbar Tandjung, padahal JK pada saat itu merupakan kader Golkar yang tersingkir pada saat konvensi Pemilihan Capres dan Cawapres Golkar saat itu.
Setelah pileg dan bubarnya pasangan SBY dan JK , JK tidak dipilih oleh SBY sebagai wapresnya namun SBY lebih memilih Budiono, gagasan Golkar melalui JK untuk bekerja sama dengan PDI P, Gerindra dan Hanura melalui Koalisi Besar, koalisi yang menjadi oposisi dari pemerintah.
Pada pemilu 2009 ini Golkar kalah lagi dalam dua pemilu yaitu pemilu legislatif dan pemilu presiden dan JK berpasangan dengan Wiranto dari Hanura yang juga sebenarnya adalah capres Golkar pada saat tahun 2004.
Setelah kekalahan telak Golkar, ternyata muncul perpecahan dalam tubuh Golkar sendiri, yaitu ada kubu yang ingin mengadakan Munaslub dengan tujuan melengserkan JK dan ada kubu yang ingin mempertahankan koalisi besar yang sudah dibentuk sebelum pilpres yaitu antara Golkar, PDI P, Gerindra dan Hanura, ada juga kader Golkar yang bersedia untuk merapat ke SBY yang artinya menjadi pendukung pemerintah.
Dengan adanya perpecahan Golkar ini, maka Golkar terkesan tidak mempunyai arah dan tujuan politik. Namun sebagai partai besar Golkar, harusnya tidak memposisikan diri seperti itu, dan Golkar tidak mengingkari kesepakatan sebelumnya. Jika Golkar kemudian ingin merapat lagi ke pemerintah, maka Golkar terkesan tidak konsisten terhadap keputusannya sendiri, dan masyarakat memberikan penilaian terhadap partai golkar .Jika Golkar menjadi oposisi, maka Golkar konsisten dengan keputusannya dan hal tersebut menghasilkan nilai positif untuk partai Golkar kedepan.