Ilustrasi (Foto: housecallsls)
Penyakit tidur (Sleeping sickness) atau African trypanosomiasis bukan masalah ngantuk biasa. Penyakit tidur ini disebabkan oleh gigitan lalat Tsetse dengan parasit yang menyerang sistem saraf pusat dan bisa berujung pada kematian.
Penderita yang terserang lalat ini akan merasakan ngantuk yang amat sangat di siang hari, tapi mengalami insomnia di malam hari. Tidur menjadi tak terkendali jika penyakitnya semakin memburuk yang akhirnya menyebabkan koma.
Penderita juga sering cedera akibat jatuh karena tertidur tiba-tiba saat mengemudi atau melakukan kegiatan lain dan kerusakan progresif terhadap sistem saraf pun mulai terjadi.
Sekitar 50.000-70.000 orang tewas karena penyakit tidur ini. Lalat Tsetse telah menyebabkan penyakit serius di Afrika. Orang-orang yang pernah melancong ke Afrika rawan terkena infeksi ini.
Seperti dilansir medlineplus.gov, Kamis (1/4/2010), ketika seseorang terinfeksi gigitan lalat Tsetse akan terasa sakit dan menyebabkan bengkak merah di tempat gigitan.
Infeksi ini kemudian menyebar ke darah yang membuat demam, sakit kepala, berkeringat dan pembengkakan kelenjar getah bening.
Jika infeksi sudah menyebar ke sistem saraf pusat, menyebabkan gejala khas mengantuk yang berlebihan. Ketika mencapai otak, penderita akan mengalami perubahan perilaku seperti rasa takut dan tidak punya mood, sakit kepala, demam, lemah dan bisa terjadi peradangan jantung.
Pemeriksaan di laboratorium biasanya menunjukkan tanda-tanda meningoencephalitis (radang otak). Tanpa pengobatan, kematian dapat terjadi dalam waktu 6 bulan.
Suntikan pentamidin hanya bisa membantu sedikit melindungi gagal jantung. Pengendalian terhadap serangga ini adalah dengan mencegah penyebaran penyakit tidur di daerah berisiko tinggi.
Seperti dikutip BBCNews, ilmuwan dari Inggris dan Kanada menemukan obat yang bisa menyerang enzim parasit tersebut yang diharapkan bisa mempertahankan hidup seseorang. Obat ini sudah siap di uji klinis (percobaan pada manusia) dalam 18 bulan ke depan. Temuan ini telah dilaporkan dalam jurnal Nature akhir Maret 2010.
"Ini adalah temuan paling signifikan yang dibuat dalam beberapa tahun terakhir dalam hal penemuan dan pengembangan obat untuk penyakit yang sering diabaikan ini," kata Profesor Paul Wyatt, direktur program penelitian ini.
Penyakit ini memang sulit didiagnosa karena mirip dengan malaria. Tapi jika tidak diobati akan membuat kerusakan di tulang belakang dan otak yang bisa berujung pada gangguan mental atau kematian.(ir/ir)