Abang saya paksa dirawat inap karena trombositnya 82 ribu, agak mengkuatirkan, padahal dia menolak karena merasa diri sudah sehat, nggak demam, nggak mual, hanya merasa badannya agak lemas. Mulai di UGD sudah 'mencurigakan' , karena saya nggak menyatakan bahwa saya dokter pada petugas di RS, jadi saya bisa dengar berbagai keterangan/penjelas an & pertanyaan dari dokter & perawat yang menurut saya 'menggelikan' . Pasien pun diperiksa ulang darahnya, ini masih bisa saya terima, hasil trombositnya tetap sama, 82 ribu.
Ketika Abang akan di-EKG, dia sudah mulai 'ribut' karena Desember lalu baru tes EKG dengan treadmill dengan hasil sangat baik. Lalu saya tenangkan bahwa itu prosedur di RS. Yang buat saya heran adalah Abang harus disuntik obat Ranitidin (obat untuk penyakit lambung), padahal dia nggak sakit lambung, & nggak mengeluh perih sama sekali. Obat ini disuntikkan ketika saya ke mengantarkan sampel darah ke lab.
Oleh dokter jaga diberi resep untuk dibeli, diresepkan untuk 3 hari padahal besok paginya dokter penyakit dalam akan berkunjung & biasanya obatnya pasti ganti lagi. Belum lagi resepnya pun isinya nggak tepat untuk DBD. Jadi resep nggak saya beli. Dokter penyakit dalamnya setelah saya tanya ke teman yang praktik di RS tersebut dipilihkan yang dia rekomendasikan, katanya 'bagus & pintar', ditambah lagi dia dokter tetap di RS tersebut, jadi pagi-sore selalu ada di RS.
Malamnya via telepon dokter penyakit dalam beri instruksi periksa lab macam-macam, setelah saya lihat banyak yang 'nggak nyambung', jadi saya minta Abang untuk hanya setujui sebagian yang masih rasional.
Besoknya, saya datang agak siang, dokter penyakit dalam sudah visite & nggak komentar apapun soal pemeriksaan lab yang ditolak. Saya diminta perawat untuk menebus resep ke apotek. Saya lihat resepnya, saya langsung bingung, di resep tertulis obat Ondansetron suntik, obat mual/muntah untuk orang yang sakit kanker & menjalani kemoterapi. Padahal Abang nggak mual apalagi muntah sama sekali. Tertulis juga Ranitidin suntik, yang nggak perlu karena Abang nggak sakit lambung. Bahkan parasetamol bermerek pun diresepkan lagi padahal Abang sudah ngomong kalau dia sudah punya banyak.
Saya sampai cek di internet apa ada protokol baru penanganan DBD yang saya lewatkan atau kegunaan baru dari Ondansetron, ternyata nggak. Akhirnya saya hanya beli suplemen vitamin aja dari resep.
Pas saya serahkan obatnya ke perawat, dia tanya 'obat suntiknya mana?', saya jawab bahwa pasien nggak setuju diberi obat-obat itu. Perawatnya malah seperti menantang, akhirnya dengan terpaksa saya beritau bahwa saya dokter & saya yang merujuk pasien ke RS, Abang menolak obat-obat itu setelah tanya pada saya. Malah saya dipanggil ke nurse station & diminta tandatangani surat refusal consent (penolakan pengobatan) oleh kepala perawat.
Saya beritau saja bahwa pasien 100% sadar, jadi harus pasien yang tandatangani, itu pun setelah dijelaskan oleh dokternya langsung. Sementara dokter saat visite nggak jelaskan apapun mengenai obat-obat yang dia berikan. Saya tinggalkan kepala perawat tersebut yang 'bengong'.
Saat saya tunggu Abang, pasien di sebelah ranjangnya ternyata sakit DBD juga. Ternyata dia sudah diresepkan 5 botol antibiotik infus yang mahal & sudah 2 dipakai, padahal kondisi fisik & hasil lab nggak mendukung dia ada infeksi bakteri. Pasien tersebut ditangani oleh dokter penyakit dalam yang lain. Saat dokter penyakit dalam pasien tersebut visite, dia hanya ngomong 'sakit ya?', 'masih panas?', 'ya sudah lanjutkan saja dulu terapinya', visite nggak sampai 3 menit saya hitung.
Besoknya dokter penyakit dalam yang tangani Abang visite kembali & nggak komentar apapun soal penolakan membeli obat yang dia resepkan. Dia hanya ngomong bahwa kalau trombositnya sudah naik maka boleh pulang. Saya jadi membayangkan nggak heran Ponari dkk laris, karena dokter pun ternyata pengobatannya nggak rasional. Kasihan banyak pasien yang terpaksa diracun oleh obat-obat yang nggak diperlukan & dibuat 'miskin' untuk membeli obat-obat yang mahal tersebut. Ini belum termasuk dokter ahli yang sudah 'dibayar' cukup mahal ternyata nggak banyak menjelaskan pada pasien sementara kadang kala keluarga sengaja berkumpul & menunggu berjam-jam hanya untuk menunggu dokter visite.
Abang sampai ngomong bahwa apa semua pasien harus ditunggui oleh saudaranya yang dokter supaya nggak dapat pengobatan sembarangan? Abang juga merasa bersyukur nggak jadi diberi berbagai macam obat yang nggak dia perlukan & jadi racun di tubuhnya.
Sebulan lalu pun saya pernah menunggui saudara saya yang lain yang dirawat inap di salah satu RS swasta yang katanya terbaik di salah satu kota kecil Jateng akibat sakit tifoid. Kejadian serupa terjadi pula, sangat banyak obat yang nggak rasional diresepkan oleh dokter penyakit dalamnya.
Kalau ini nggak segera dibereskan, saya nggak bisa menyalahkan masyarakat kalau mereka lebih memilih pengobatan alternatif atau berobat ke LN. Semoga bisa berguna sebagai pelajaran berharga untuk rekan-rekan semua agar berhati-hati & kritis pada pengobatan dokter.
anda bisa baca di
http://nasional.kompas.com/read/2009/03/04/16255199/kontroversi.puyer.dan.polifarmasi