Jakarta - Usulan mendirikan rumah aspirasi untuk menyerap aspirasi dari para konstituen di daerah justru akan memperburuk kehidupan demokrasi di Indonesia. Rumah aspirasi hanya sebagai trik anggota dewan untuk menghadapi lawan di pemilu 2014.
"Wacana itu buruk bagi demokrasi. Karena dengan alasan memelihara konstituen, sang anggota DPR menutup peluang orang lain untuk menjadi wakil rakyat pada pemilu berikutnya," kata pengamat politik, Rocky Gerung, kepada detikcom, Rabu (4/8/2010).
Lebih lanjut dia mengatakan, seharusnya jika ingin memikat hati rakyat, para wakil rakyat ini sebaiknya memilih cara yang lebih elegan. Karena dengan cara itu, justru memperjelas rakyat telah didoktrin sebelum masa pemilihan itu tiba dengan menyediakan tempat penampungan suara hati mereka.
"Ia memakai fasilitas negara untuk memikat rakyat memilihnya kembali di 2014. Rakyat sepertinya diijon sebelum hari panen politik, yaitu pemilu," ujar dia.
Meskipun tentang rumah aspirasi itu memang menjadi amanat UU MPR, DPR dan DPD (UU Parlemen) yang diatur dalam tatib DPR, tetap saja itu hanya aturan internal organisasi DPR. "Tatib bukan hukum publik dan bukan pula sumber untuk memelihara konstituen di daerah," jelasnya.
Dia menyarakan anggota DPR sebaiknya lebih berpikir kreatif misalnya dengan memanfaatkan kantor partai masing-masing dari pada negara harus mengucurkan dana sebanyak itu. Dan yang perlu diingat menurutnya, kepentingan politik pribadi sangat tidak dibenarkan menggunakan biaya publik.
"Prinsipnya adalah kepentingan politik pribadi tidak boleh dibiayai dana publik. Anggota DPR seharusnya memakai kantor partai sebagai tempat pendidikan politik konstituennya," tegas Rocky.
"Kalau tidak, ide rumah aspirasi itu (yang awalnya) datang dari akal politik konspiratif, nanti hasilnya adalah rumah konspirasi," tandasnya. (lia/irw)