"Dia kawan SMP saya. Satu kelas. Kami selalu bersama. Kebetulan nama depan kami juga sama: Nur. Kami selalu bersaing dalam hal prestasi di kelas. Dia selalu juara satu. Saya membayangi. Kalau pelajaran berhitung dia jagonya.
Tamat SMP dia melanjutkan ke SMA Dua, saya SMA Lima. Kontak kami terputus. Tamat SMA dia lanjut ke Kedokteran, Unhas, saya ke Pertanian. Dia tamat saya tidak. Dia menjadi dokter, saya wartawan. Dia lebih dulu menikah.Dia berputra satu, saya tiga.
Dua tahun yang lalu kami bertemu di Baruga Andi Pengerang Pettarani, Unhas.
Tepatnya pertengahan September 2006. Dia cuma melintas di situ, saya menunggu dosen. Kami berangkulan, melompat-lompat tanpa berpikir bahwa kami bukan lagi anak kecil. Seperti biasa kami saling tanya keadaan. Kami juga bernostalgia, saling menceritakan riwayat perjalanan kami.
Saya menangkap bahwa dia kelihatan lebih tua dibanding usianya. Rambutnya sebagian sudah memutih. Kumisnya jarang-jarang. Sebagian memutih. Matanya cekung seperti kurang tidur.
"Kamu kelihatan sibuk sekali," ucap saya. "Banyak pasien. Banyak pekerjaan," katanya, berusaha tersenyum. "Mantap. Banyak ibadah. Banyak membantu orang dong�," tanggap saya. "Hehehe. Setiap hari bertemu orang sakit. Kita rasa-rasanya mau sakit juga," responnya.
Kami berpisah. Ucapannya selalu bertemu orang sakit dan rasa-rasanya mau sakit juga kalau tidak salah itu yang dinamakan aura negatif. Keadaan yang selalu kita hadapi dan menyedot tubuh kita mengikuti keadaan itu. Tapi bagi saya, dia seorang kawan yang selalu mengungguli saya. Langkahnya selalu lebih awal dari saya. Dia kawan yang positif.
Tiga bulan kemudian, 1 Januari 2007, masih pagi, saya mendapat pesan singkat dari seorang kawan yang mengabdi sebagai guru di Polmas. Isinya mengabarkan kawan yang dokter itu meninggal dunia. Malam harinya kawan itu masih sibuk menangani pasien korban kecelakaan lalulintas. Biasa, setiap malam pergantian tahun selalu banyak kecelakaan. Teman tadi bertugas hingga larut malam di rumah sakit itu. Dini hari, kawan tersebut terkapar dan meninggal dunia.
Saya sedih sekali. Juga tersentak bukan main. Cepat nian. Saya kehilangan seorang kawan. Kalau ajal menjemput, siapa yang bisa mencegah?
Saya teringat tentang aura positif dan negatif itu. Aura positif mengalirkan gairah ke seluruh tubuh. Sel-sel tubuh akan hidup. Aliran darah akan lancar. Kondisi ini akan kita dapat bila berada dalam lingkungan yang positif. Demikian sebaliknya ada pula yang dinamakan aura negatif.
Aliran darah tidak lancar, bisa mengakibatkan munculnya radikal bebas. Gampang marah dan stres. Kedua aura ini diserap dari lingkungan di sekitar kita. Disebutkan bahwa profesi yang banyak menyerap aura negatif adalah dokter, polisi, jaksa, dan wartawan.
Dokter setiap hari berhadapan dengan orang sakit. Semuanya mengeluh. Semangat lemah. Merasa menderita. Penyakitan. Seakan-seakan kematian semakin dekat. Semua keadaan ini diserap oleh dokter, mengakibatkan tubuh dokter ikut lemah. Saya teramat kagum dengan fisik dokter yang membuka praktik hingga jam dua dinihari.
Wartawan juga demikian. Setiap hari menyerap aura negatif. Di jalan mahasiswa demo, ada tabrakan, ada nyawa melayang. Seminar-seminar membicarakan soal krisis. Di gedung perlemen soal anggaran yang terbatas.
Di pasar soal nilai jual yang bergerak naik. Keseharian yang terus menjepit. Minyak tanah langka. Warung-warung kopi membahas politik. Di kantor polisi, pengadilan, semuanya penuh aura negatif karena setiap hari bertumpuk persoalan.
Di mana aura positif itu terdapat? Tempat ibadah menempati peringkat utama. Hanya saja, jangan sampai rumah ibadah pun penuh aura negatif karena ceramah yang disampaikan muatannya menjelek-jelekkan orang atau kelompok lain. "