Kapan Kebangkitan Islam Datang Seperti Dulu?

21.20

Assalamu'alaikum wr wb.

Ust sarwat Lc yang saya hormati.

Kalau kita baca dalam sejarah bukankah umat Islam dulu pernah berjaya, berkuasa dan adidaya. Bahkan tidak ada tandingannya baik dari budaya, kesenian, peradaban dan lainnya.

Yang ingin saya tanyakan:

1. Kapan masanya umat Islam akan bangkit dan berkuasa seperti dulu?

2. Kira-kira dari sisi mana dulu kebangkitan Islam itu akan datang?

Kalau kita amati keadaan skarang, sepertinya bukan hal yang mudah untuk mewujudkan kebangkitan Islam dan mengalahkan musuh-musuh kita.

Karena iptek, media dan lain-lain, semua dikuasai oleh barat. Sementara kita semakin tertinggal dan malah asyik perang saudara. Sekian dulu dari saya.

Wassalamu'alaikum wr wb.

Opik

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ada dua skenario dalam kebangkitan Islam di masa yang akan datang.

Pertama: Lewat Bangsa Maju

Abad ke-21 ini memang era yang ajaib, sebuah era di mana orang-orang kafir berdondong-bondong masuk Islam. Eropa sudah mengalami Islamisasi hingga menurut Greet Wilder, jumlahnya sudah 54 juta orang.

Sementara bangsa-bangsa non muslim di Eropa sebentar lagi punah. Sebab mereka umumnya tidak mau punya anak. Bayangkan, sebuah peradaban punya pandangan untuk tidak punya anak. Dengan data dan rumus tertentu, kita bisa menghitung kapan mereka akan punah, seperti gajah Afrika, harimau Sumatera dan panda di Cina.

Maka kabar gembiran Rasulullah SAW bahwa umat Islam akan menguasai Eropa sudah terjawab hari ini. Setidaknya kia sudah merasakan langsung bagaimana era muslim itu segera muncul.

Kedua: Lewat Bangsa Muslim

Yang masih menjadi tanda tanya besar adalah bangsa-bangsa muslim sendiri. Mereka memang sudah pernah mengalami kejayaan peradaban, dan kini sedang nyungsep di bawah kaki kekuasaan barat.

Berontak secara militer barangkali bukan pilihan sederhana, sebab semua unsur kekuatan ada di tangan musuh. Lagian selama hampir 50 tahun perang melawan barat, bangsa-bangsa muslim tetap saja tetap di bawah hegemoni mereka. Memang secara fisik kita tidak dijajah, tapi secara teknologi, ekonomi, politik, birokrasi, managemen dan life style, kita memang sangat terjajah.

Dalam pandangan kami, kalau sekedar menguasai teknologi, rasanya tidak ada masalah. Nyaris semua teknologi yang ada di barat sana, sudah bisa kita terapkan di sini.

Bahkan bukan sekedar kita beli sebagai hasil bentuk produksi, tetapi kita pun sudah punya begitu banyak para ekspert di bidang yang produksinya belum ada di negeri ini.

Saat kami menuliskan jawaban ini, kami baru saja mendarat dari kunjungan silaturrahim ke Jepang. Di sana, kami bertemu dengan sekian ratus mahasiswa program S-3 dari bermacam bidang keahlian. Ada yang ahli nuklir, listrik, enginering, pertanian, komputer, mesin dan seterusnya.

Yang namanya orang pintar dari bangsa kita yang muslim ini tidak sedikit. Dahulu ada pak Habibie, Baiquni dan lainnya. Dan di zaman sekarang ini, jumlahnya sudah tidak terhitung lagi.

Nyaris semua kota di Jepang yang ada perguran tingginya, diisi oleh para mahasiswa jenius dari bangsa Indonesia. Mereka muslim dan sangat terjaga kualitas keIslamannya, termasuk juga perhatian yang besar dalam masalah penerapan syariah dalam kehidupan.

Kalau dihitung-hitung, keberadaan mereka ini saja sudah menjadi modal dasar untuk membangun teknologi di negeri kita. Dan secara hitungan sederhana, kita bisa saja membangun peradaban secara fisik menyamai Jepang. Bahkan kalau perlu lebih maju dari Jepang.

Kita bisa saja membuat Shinkansen yang bisa ngebut dengan kecepatan 450 km per jam. Teknologinya bisa dengan mudah diadaptasi. Bahkan para pengusaha pasti berebut untuk mendanai, sebab pasarnya secara bisnis sangat menggiurkan. Dan itu sudah dibuktikan di Jepang, sejak tahun berdiri hingga kini mereka sudah tinggal menikmati keuntungannya.

Bodoh sekali kalau di Indonesia tidak segera diciptakan model Shinkansen, yang mungkin bisa saja lebih cepat dari yang ada di Jepang. Jadi jarak Jakarta Surabaya cukup 2 jam, tanpa boarding, pemerikasaan dan ke bandara. Ke Bali bisa saja cuma 3 jam. Dalam waktu singkat, kalau birokrasinya jelas dan mendukung, pasti akan segera break event point.

Titik Pangkal Masalah

Yang jadi masalah buat bangsa kita ini justru pada mentalitasnya. Di antaranya mental di kalangan para birokrat yang jadi broker. Tidak ada teknologi baru yang masuk dan didirikan, kecuali mereka minta 'jatah'. Dan jatah ini sama sekali tidak jelas nilainya. Bisa sangat mahal dan menghabiskan waktu.

Belum lagi kendala kesimpang-siuran alur birokrasi yang semakin rumit. Semua itu membuat teknologi menjadi sulit masuk ke negeri kita.

Berbeda dengan mentalitas para birokrat Jepang, di mana mereka sengaja menyiapkan 'pengambil-alihan' teknologi. Ketika Jepang dulu belum bisa membuat mobil, mereka kirim mahasiswa ke Amerika. Mereka juga beli beberapa mobil untuk sample. Lalu mesin-mesin mobil itu dibawa pulang ke Jepang untuk dibedah dan dipelajari.

Awalnya tiruan itu masih belum bagus, karena ada beberapa kompnen yang ternyata perlu presisi tinggi. Hasil awalnya masih seperti motor-motor Cina yang kita kenal. Gampang rusak dan cepat jebol.

Tapi lama-lama, mereka dengan tekun terus berjuang sehingga akhirnya menjadi industri otomotif terkemuka di dunia. Bahkan bangsa Amerika pun mengimpor mobil dari Jepang. Motornya pak polisi CHIPS di California bermerek Honda.

Jadi yang membedakan antara Indonesia dan Jepang justru pada mentalitas dan pola birokrasi para penguasa. Bukan sekedar urusan iman dan ibadah. Percuma punya iman tinggi tapi tidak mengejawantah dalam bentuk sikap dan mental.

Iman Teoritis

Model iman bangsa-bangsa muslim kebanyakan hanya sebatas teori tauhid rububiyah dan uluhiyah, itu pun hanya sekedar hafalan di buku pelajaran. Atau sekedar bisa untuk memvonis orang lain sebagai ahli bid'ah dan ahli syirik.

Tapi iman model begitu itu tidak menghasilkan sesuatu yang produktif dan bisa membangun peradaban. Itulah kenapa bangsa Jepang sampai hari ini belum lagi kita lihat tertarik masuk Islam.

Sebaliknya, ada sekian banyak sunnatullah yang justru saat ini kita tidak penuhi. Misalnya, bagaimana korupsi berjamaah itu masih saja menjadi 'agama' bangsa kita. Juga penyalah-gunaan jabatan dan wewenang dari jabatan birokrasi yang hanya untuk mengumpulkan kekayaan pribadi. Dan repotnya, mereka ini justru yang menjadi penghalang kemajuan dari segi teknologi.

Kita juga masih saksikan bagaimana para pejabat dan birokrat masih asyik menjual asset bangsa. Minyak bumi, batu bara, emas, bahkan insdustri besar yang susah payah dibangun, semua dijual dengan harga kaki lima.

Jadi kendala kita yang sebenarnya adalah negeri kita dipimpin oleh orang 'jahat', tapi 'orang jahat' itu adalah diri kita sendiri. Sebab begitu 'orang jahat' itu diganti, para penggantinya pun cenderung jadi jahat juga. Intinya cuma gantian saja, siapa yang jadi penjahat. Hari ini si fulan jadi tokoh jahat, besok gantian, lawan politiknya yang jadi penjahat.

Rupanya jabatan itu seringkali mengubah orang jadi jahat. Terkadang orang yang tadinya baik, begitu jadi pejabat akhirnya ikut juga jadi jahat. Wah, repot juga ya.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

Artikel Terkait

Previous
Next Post »