Sebuah Kado Tak Berbentuk

03.34
Oleh Ineu

Malam ini kedua anakku telah tidur lelap setelah kuhantar mereka ke alam mimpi dengan surat-surat pendek Al-Quran. Kutatap lama wajah mereka, begitu polos dan damai. Pandanganku beranjak pada si sulung yang besok pagi usianya genap tiga tahun, kupeluk tubuh mungil yang tergolek pulas itu sambil kubelai-belai rambutnya. Kami tak berencana merayakan hari lahirnya, mengingat penderitaan yang sedang dialami sebagian masyarakat Indonesia di berita-berita yang kubaca beberapa waktu lalu.

Saat ini aku hanya ingin melakukan muhasabah atas peranku sebagai ibu. Kusadari bahwa introspeksi sebenarnya bisa dilakukan kapan saja bahkan tiap hari saat beranjak tidur. Tetapi terkadang kesadaran diri untuk melakukan evaluasi muncul manakala menghadapi sebuah momen tertentu, seperti yang kualami sekarang. Pikiranku menerawang mengenang masa-masa yang telah terlewati bersama anak-anak terutama si sulung. Mengingat semua kejadian yang masih segar tersimpan di benakku, aku merasa ada „teguran halus“ Allah tersirat untukku di setiap tingkah lakunya.

Pernah suatu ketika di sebuah swalayan saat aku dan beberapa orang lainnya sedang sibuk memilih-milih barang, tiba-tiba saja sebuah nyanyian berkumandang memecah keheningan.
Si sulung dengan lantang menyanyikan lagu favoritnya…

Siapakah tuhanmu?
Apa agamamu?
Siapakah nabimu?
Apa kitabmu?
Tuhanku adalah Allah Agamaku Islam Nabiku Nabi Muhammad Kitabku Al-Quran Ya…ya…ya Allah Tuhanku Ya…ya…ya Islam agamaku
Hampir semua mata mengalihkan perhatian kepadanya. Akupun tergopoh-gopoh menghampiri dan membujuknya agar menyanyi dengan suara yang lebih pelan. Merasa sebagai minoritas di negeri yang masih memandang buruk Islam, terkadang perasaan was-was muncul manakala kata-kata seperti diucapkan anakku terdengar jelas oleh mereka. Si sulung tak peduli dengan bujukanku dan tak pernah tahu keresahanku. Dia tetap saja melantunkan lagu itu.

Ketika upaya membujuk tak membuahkan hasil, akhirnya kuputuskan segera menuju kasir. Di tengah antrian pembeli, si sulung masih saja menyanyi. Kulirik jam tangan, … „Masya Allah, Astagfirullah!“…pekikku tertahan kala melihat arah jarum jam menunjukkan tak lama lagi waktu shalat Dzuhur habis. Saat itu sedang musim dingin, jadinya jarak antara shalat dzuhur dan ashar begitu dekat. Segera aku bergegas pulang. Tak lupa kuucapkan terimakasih pada si sulung. Andai saja dia tak berteriak menyanyikan lagu itu, mungkin aku masih sibuk dengan belanjaan dan waktu shalat dzuhur pun terlewati. Astagfirullah!

Pada kesempatan lain saat aku sibuk memasak, si sulung diikuti adiknya menghamparkan kain serbet di sebelahku. Mereka bertakbir dan tak berapa lama surat Al-Fatihah meluncur dari bibir mungilnya. Kemudian mereka rukuk, sujud dan kembali berdiri, sama sekali tak menghiraukan aku. Mereka tampak khusyu, pandangannya tertuju pada kain serbet. Saat terpana dengan tingkah mereka, aku jadi teringat sesuatu lalu kulihat jam dinding di dapur. Ya, Allah! Mereka seperti mengingatkanku agar aku segera melaksanakan shalat.

Saat ini si sulung memiliki kesenangan membaca huruf-huruf hijaiyyah yang sudah dihapalnya. Kapan saja keinginan membaca itu datang, tak peduli waktu sudah larut malam atau pagi hari saat bangun tidur, dia akan menyalakan komputer dan mencari menu favoritnya di internet. Alih-alih bersyukur dengan minat barunya itu, aku malah sering menahan kesal karena merasa si sulung tak mau mematuhi jadwal yag sudah kami tetapkan untuk mereka. Astagfirullah, untuk kesekian kalinya kusadari kelemahanku.

Terkadang di lain waktu, si sulung tampak khusyu mendengarkan surat-surat pendek dan ayat kursi dari sebuah laptop mainan pemberian seorang sahabat. Sesekali dia tersenyum atau tertawa saat dapat menirukan bacaan tadi. Adiknya yang baru satu setengah tahun akhirnya bisa ikut hapal karena si sulung suka mengajarinya. Tak jarang mereka berdua menyanyikan huruf-huruf hijaiyyah atau surat-surat pendek itu saat di perjalanan menuju Kindergarten (taman kanak-kanak).

Saat mengenang segala tingkahnya, ada rasa malu menyeruak hati. Si sulung beserta adiknya, dengan kebeningan mata dan segala kepolosan tingkah khas anak-anak, seolah mengingatkan diriku terhadap amanah yang dipercayakan Allah kepada kami dan kelak akan kami pertanggungjawabkan di hadapanNya. Aku malu padamu ya Allah, telah sering kuabaikan amanah ini.

Aku jadi teringat buku yang dipinjamkan seorang sahabat beberapa waktu lalu. Sebuah buku yang mengisahkan perjalanan hidup seorang anak yang hapal dan paham Al-Quran saat berumur 7 tahun. Di mana kedua orangtua anak itu memiliki visi yang begitu jelas dan istiqomah dalam mewujudkan harapannya dalam membentuk kepribadian dan potensi sang anak.Mereka begitu bersungguh-sungguh dalam memberi keteladanan pada anak-anaknya dengan memulai daridirinya sendiri.

Tekad dan usaha kedua orang tua tersebut menyadarkan diriku bahwa upaya yang kami lakukan dalam medidik anak-anak masih sangat jauh bila dibandingkan dengan apa yang telah diupayakan keluarga penghapal Al-Quran tersebut.

Kini aku berjanji untuk benahi segala kelalaian dan kekuranganku sebagai madrasah utama bagi mereka. Jiwa-jiwa yang masih suci itu menanti bimbinganku untuk tumbuh menjadi pribadi yang dicintaiNya. Inilah sebuah kado yang akan kuhadiahkan pada anakku, sebuah janji yang kupatri di kedalaman hatiku.

Ya Allah, tuntunlah kami,
dalam membimbing mereka menujuMu.
Ya Allah berilah kami petunjuk,
dalam mengarahkan mereka pada jalan keselamatan.
Ya Allah, berilah kami kekuatan dan kesabaran,
untuk menjaga dan melindungi jiwa-jiwa suci itu hingga menjumpaiMu

****

Menjelang milad cahaya hati

Artikel Terkait

Previous
Next Post »