Sophan Sophiaan, meninggal dunia akibat kecelakaan saat mengendarai motor besar, saat berkonvoi dengan rombongan Jalur Merah Putih untuk memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional, Sabtu, 17 Mei 2009. Peristiwa itu terjadi pukul 09.30 saat Sophan melintasi jembatan Desa Planglor, Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.
Rombongan yang terdiri atas 270 pengendara motor besar berangkat dari Jakarta tanggal 12 Mei berkonvoi ke kota-kota besar di Jawa, mulai dari Cirebon, Semarang, hingga Surabaya dan Kediri. Pada Sabtu pagi, rombongan bertolak dari Kediri menuju Yogyakarta melewati jalur Ngawi-Sragen.
Ssaat melintas di Jalan Raya Ngawi ke Sragen, tepatnya di Kilometer 20 dari Ngawi, rombongan melalui jalan yang bergelombang dan berlubang di beberapa titik. Sophan yang menjadi ketua perjalanan JMP dan berada di urutan kelima dari depan tak bisa menghindari lubang sepanjang sekitar 3 meter dengan lebar 15 sentimeter.
Sophan tak kuasa mengendalikan sepeda motornya, lalu terjatuh dan terseret hingga 25 meter ke arah bahu jalan di kawasan hutan jati. ”Saya sempat banting ke arah kiri untuk menghindari lubang. Saya lihat ke spion, Pak Sophan sudah oleng, motornya terjepit lubang, lantas terjatuh ke arah kiri,” kata Safety Officer JMP Bambang, yang posisinya di depan motor Sophan.
Sophan dirawat sementara di ambulans milik panitia sambil dilarikan ke RSUD Sragen. Menurut dr Agus Dwi Sasongko, Sp OT dari RSUD Sragen, Sophan mengalami trauma pada dada serta patah tulang di beberapa bagian tubuh. Trauma pada dada Sophan menyebabkan perdarahan hebat yang membuat paru-parunya tidak bisa mengembang. ”Kami melakukan resusitasi. Namun, saat tiba di sini (RSUD Sragen), Pak Sophan sudah meninggal,” katanya.
Jenazah Sophan Sophiaan tiba di Jakarta sekitar pukul 15.15, menggunakan pesawat Garuda Indonesia nomor penerbangan GA 225 yang lepas landas dari Bandara Adi Soemarmo, Solo, Jawa Tengah. Sejumlah pejabat tinggi dan tokoh masyarakat menyambut kedatangan jenazah di ruang VVIP Bandara Soekarno-Hatta.
Di antara pejabat yang datang terlihat Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa, Menteri Perhubungan Jusman Syafeii Djamal, Menteri Perindustrian Fahmi Idris, dan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo. Tampak juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Sjahrir, dan mantan Ketua DPR Akbar Tandjung. ”Saya sedang berada di Solo dan kebetulan pulang ke Jakarta satu pesawat dengan rombongan jenazah,” kata Akbar.
Fauzi Bowo didampingi kerabat dan dua anak almarhum, Romy DP Sophiaan dan Roma JP Sophiaan, langsung menyambut di apron bandara kedatangan peti jenazah yang telah diselimuti bendera merah putih. Istri almarhum, Widyawati (57), tampak masih mengenakan kaus seragam Jalur Merah Putih saat tiba di ruang VVIP.
Dalam upacara kecil penerimaan jenazah di dalam ruang VVIP, Hatta Rajasa mengatakan, almarhum Sophan Sophiaan adalah seorang tokoh nasional yang gugur saat sedang menjalankan tugas negara. ”Almarhum gugur saat mengemban tugas dalam Kepanitiaan Nasional Peringatan 100 Tahun Hari Kebangkitan Nasional. Kami merasa sangat kehilangan,” katanya.
Hatta menambahkan, Sophan adalah sosok yang sangat jujur dan konsisten memegang prinsip, baik di dunia politik maupun seni. ”Dia seorang politisi yang langka di negeri ini. Rasa cinta Tanah Air dan nasionalismenya tak perlu diragukan lagi,” ujarnya. (Kompas, 18 Mei 2008)
Sophan Sophian
Kiprah Politik Sang Aktor Film
Dia seorang aktor film yang piawai bermain kepura-puraan atau bersandiwara. Ia menghayati kepura-puraan sebagai seni. Kemudian ia terjun dalam dunia politik praktis, menjadi Ketua Fraksi PDIP MPR, lalu mengundurkan diri. Kemudian ia pun meloncat memainkan adegan (peran) baru masuk tim sukses dan bintang iklan Capres-Cawapres PAN.
Namun, menjelang Kongres Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ke-2 di Bali, Maret 2005, dengan amat percaya diri sebagai loyalis, pejuang dan pembaharu partai (PDIP), ada pula yang masih menjagokannya sebagai salah satu calon Ketua Umum PDIP menggantikan Megawati Soekarnoputri.
Ketika berperan sebagai bintang film, dia melihat kepura-puraan sebagai seni dan dia sangat menghayatinya. Sehingga ia sukses sebagai bintang film. Kemudian ia terjun dalam dunia politik praktis, sampai sempat diberi kesempatan (dipercayakan) menjadi Ketua Fraksi PDIP MPR-RI. Dalam peran yang dipercayakan kepadanya di PDIP itu, namanya makin melambung dan sempat mewarnai kancah politik nasional.
Namun di dunia politik (parlemen) itu, tampaknya ia menghadapi kepura-puraan (sandiwara) yang terjadi dalam kenyataan, hal yang sebenarnya sangat dihayatinya dalam film. Ia pun hidup dalam dua dunia, yakni kenyataan kepura-puraan dan seni peran kepura-puraan yang dihayatinya. Lalu dalam kenyataan itu, ia pun mundur dari lembaga legislatif.
Sampai di situ, banyak orang masih terkesima seperti merasakan adanya sinyal nurani kejujuran.
Belakangan, ia meloncat melakoni adegan (peran) baru masuk tim sukses Amien-Siswono, Capres-Cawapres PAN (Partai Amanat Nasional) untuk bersaing dengan Capres-Cawapres lainnya, di antaranya Capres-Cawapres PDIP. Kali ini, juga dalam suatu kenyataan, sekaligus dalam suatu seni peran sebagai bintang iklan mendukung Amien-Siswono.
Memang, meminjam lirik lagu Achmad Albar, dunia ini adalah panggung sandiwara. Walaupun lirik lagu itu tidak selalu benar. Sebab panggung sandiwara tidak selalu sebagai suatu kenyataan dan kenyataan tidak selalu menjadi panggung sandiwara. Terkadang ketulusan nurani tanpa pamrih masih menampakkan sosok sebagai kenyataan.
Ah... ketulusan nurani yang antara ada dan tiada! Entahlah itu yang disebut sebagai seni peran (aktor) dan politik (politikus) yang harus mampu berkompromi. Bak kata para filsuf, suatu misteri kehidupan manusia yang paradoksal. Berbeda, bahkan bertentangan, tetapi berjalan secara bersamaan.
Begitulah kiranya, kiprah dan potret seorang aktor film (pemain sandiwara) kenamaan, dalam dunia politik. “Boleh jadi dia tidak cocok menjadi seorang politisi,” kata Jimly Ashidiqie, sebagaimana dikutip Suara Pembaruan, ketika Sophan mengundurkan diri dari parlemen.
Sophan sendiri mengatakan pengunduran dirinya karena menilai parlemen sebagai lembaga politik tidak sejalan dengan nuraninya. Namun, ketika itu, pria kelahiran Makassar 26 April 1944, ini menyatakan hanya mengundurkan diri dari parlemen tapi tidak mundur dari keanggotaan PDI-P.
''Saya hanya mundur dari MPR/DPR, saya tidak mundur dari partai, saya tetap orang PDI-P,'' ujarnya. Ia menegaskan: “Saya tidak pernah memiliki pretensi apapun terhadap pengunduran diri saya. Saya mengundurkan diri karena saya sudah merasa tidak mampu lagi beradaptasi dengan konstalasi sosial, ekonomi dan politik yang sedang berlangsung saat ini.”
Banyak pihak menyebutkan, mundurnya Sophan itu karena kekecewaan yang terakumulasi. Antara lain, perberbedaan paham dengan Megawati akibat ulah orang-orang ''indekos'' di PDI-P. Juga karena PDIP tidak mendukung pembentukan Panitia Khusus (Pansus) penyelidikan dana nonbujeter Badan Urusan Logistik (Bulog) di DPR.
Mundurnya Sophan, kata para pengamat (namanya pengamat bisa salah atau benar), tidak hanya merupakan kerugian bagi DPR dan MPR, tetapi juga merupakan kerugian bagi Megawati Soekarnoputri dan PDI-P. Sebab meskipun ia seorang seniman, tetapi termasuk bisa menjadi kaliber politik karena kemungkinan mewarisi watak politik dari Manai Sophiaan ayahandanya.
Maka tak heran, bila pengunduran dirinya dari parlemen (Fraksi PDIP) membuat politisi dari partai lain meliriknya dengan cerdik (cerdas dan berani serta taktis) sebagai bagian dari permainan dan kepentingan politik. Dan, ia pun secara sadar meloncat mendukung dan menjadi bintang iklan Capres-Cawapres partai lain (Partai Amanat Nasional).
Selepas Pemilu Legislatif 2004, namanya sempat melambung tinggi disebut-sebut menjadi salah satu yang berpeluang mendampingi Abdurrahman Wahid sebagai Cawapres dari Partai Kebangkitan Bangsa. Ia sudah beberapa kali bertemu dengan Gus Dur, seperti juga banyak orang penting lainnya. Namun, akhirnya PKB memilih Marwah Daud Ibrahim, salah seorang kader Golkar yang seringkali 'melawan' Akbar Tandjung, ketua umumnya sendiri.
Selepas itu, belakangan, suami bintang film Widyawati (pasangannya dalam film Pengantin Remaja), ini memainkan peran dan kepentingan politik yang menarik dan bernuansa seni, yang disebutnya berpolitik dengan nurani. Ia menjadi pendukung Capres dan Cawapres Partai Amanat Nasional (PAN), Amien Rais-Siswono Yudo Husodo pada Pemilu Presiden 2004. Dalam peran ini, ia pun tampil sebagai bintang iklan Amien Rais-Siswono.
Dalam peran baru ini, banyak pihak menduga, ia bakal didudukan dalam kabinet Amien-Siswono (jika terpilih) sebagai Menteri Seni dan Budaya. Sebuah jabatan yang memang dianggap sangat cocok buatnya, asalkan ia melakoninya sebagai sebuah kenyataan, bukan seni peran, akting atau sandiwara dalam sebuah film atau drama.
Entahlah! Bukankah ia sudah pernah menjadi seorang politikus yang sempat berada pada posisi politik yang sangat kuat dalam konstalasi politik nasional ketika diberi kesempatan (dipercaya) menjabat Ketua Fraksi PDIP MPR?
Selama di parlemen, ia sempat dikenal sebagai politikus yang relatif bersih dan mempunyai integritas. Ketika itu, banyak orang merasa yakin bahwa ‘darah politik’ ayahandanya, Manai Sophiaan, yang mantan Sekjen Partai Nasional Indonesia, mengalir dalam dirinya. Konon, ayahandanya itu pulalah yang mendorongnya untuk terjun dalam dunia politik.
Nama besar ayahandanya dan popularitasnya sebagai bintang film (pemain sandiwara), telah membentuk citra dirinya, cukup terkenal. Walaupun tampaknya ia lebih menghayati peran sebagai bintang film, yang terbawa dalam dunia politik yang belakangan juga dilakoninya. Jadilah ia menjadi seorang politisi yang secara nurani menolak kepura-puraan dalam kenyataan, tetapi secara bersamaan sangat menghayati kepura-puraan itu dalam peran sebagai aktor film (sandiwara).
Maka, kalaupun akhirnya penghayatan sebagai bintang film itu terbawa-bawa dalam peran politiknya, hal ini bisa dimaklumi. Sebab sejak mahasiswa, Sophan sudah menjadi bintang film. Sampai usianya yang makin lanjut, ia melakoni dunia film baik sebagai pemain, sebagai sutradara, maupun sebagai produser dengan baik. Memang, seni peran (bintang film) itulah habitatnya. Di situlah dia punya nama dan 'rumah idaman', go home!
Nasionalisme
Biacara soal nasionalisme, ia memandang relevan sepanjang masa. Nasionalisme itu, kata dia, paham untuk mencintai bangsa. Tapi jangan chauvinistis. Sekarang, bisa dihitung dengan jari orang yang sungguh-sungguh mencintai bangsanya. Kebanyakan mencintai diri sendiri, mencintai kelompoknya.
“Jadi, saya kira masih sangat relevan membicarakan nasionalisme. Dan itu harus terus-menerus ditumbuhkembangkan, diberikan pelajaran kepada kaum muda. Kita lihatlah orang Jepang, betapa mengglobalnya mereka. Tetapi nasionalisme orang Jepang diperlihatkan dengan kecintaan terhadap tanah air, bagaimana mereka membangun bangsanya, bagaimana mempertahankan budayanya di tengah-tengah globalisasi. Mereka bangga bahasanya dan tetap melaksanakan tata kramanya,” katanya kepada Tempo.
Nasionalisme itu paham mencintai kebangsaan. Artinya, kalau kita mencintai kebangsaan, tentunya harus berbuat sesuatu yang terbaik bagi bangsa dan negara. Tapi sekarang kan tidak. Kalau kita bandingkan dengan nasionalisme di zaman founding fathers, nasionalisme sekarang tidak ada apa-apanya.
Ia merasa nasionalisme kita sekarang nol. Kenapa? Karena mayoritas orang Indonesia tidak berpikir pada bangsanya lagi. Tapi berpikir bagaimana memperkaya diri sendiri, memperkaya kelompoknya. Itu kenyataan yang kita lihat sekarang. Padahal, sebetulnya, ketika reformasi bergulir kita semua optimis akan memasuki era baru, era di mana nasionalisme yang selama 35 tahun itu terlupakan akan bangkit kembali. Dan kita tidak mengharapkan nasionalisme sempit, chauvinistis. Kita mengharapkan nasionalisme yang berdasarkan kemanusiaan karena memang itu tuntutan kemerdekaan. Kita baca jelas di Pembukaan UUD 1945.
Dalam hal ini, menurutnya, pemimpin harus memberikan contoh, masyarakat harus mengimplementasikan sesuai aturan-aturan yang berlaku. Tapi sekarang, ia melihat pemimpin tidak memberikan contoh, sementara masyarakat sendiri tidak punya pengertian yang tulus tentang paham nasionalisme. ► tsl